APA ITU FILM INDEPENDEN?
Sebagian kecil dari film Indonesia (berdurasi panjang) yang muncul belakangan ini diklaim sebagai ‘film independen’. Sebut saja mulai dari Kuldesak , lalu kemudian Bintang Jatuh (Rudy Sudjarwo, 2000), Pachinko (Harry Suharyadi, 2000), Tragedy (Rudy Sudjarwo, 2001), Video Cinta (Agus Chosu, 2001), Jakarta Project (Indra Yudhistira, 2001), dan yang terakhir ini Beth (Aria Kusumadewa, 2001). Sebenarnya apa itu ‘film independen’? Sebuah pertanyaan besar yang menjadi polemik dalam hampir setiap tulisan maupun diskusi film yang muncul akhir-akhir ini. Hampir semua pengamat mempertanyakan definisi film independen yang dibuat oleh filmmaker dan terus berkutat di masalah definisi.
Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ –pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:
“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.”
(Goodell, 1998)
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’ untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat —khususnya Hollywood— mungkin definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan.. tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini tidak bijaksana.
Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang menyatakan bahwa:
“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.”
(Moran & Willis,….)
Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:
“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.”
Dalam konteks Amerika Utara, mereka menganggap bahwa pemerintah seringkali bertujuan untuk mengangkat ‘kultur bangsa’-nya ke dunia internasional, yang hanya sekedar kedok untuk memperlihatkan bahwa mereka telah menjalankan obligasi moral mereka dalam memperhatikan kesenian negerinya.
Yang paling menarik adalah hasil dari sebuah diskusi dalam kuliah Ray Carner , dimana didapatkan beberapa definisi pragmatis tentang film independen. Ada yang mengatakan bahwa film independen adalah film yang dibuat dengan dana terbatas, ada juga yang membatasinya sebagai film yang dibuat oleh sutradara muda yang belum terkenal. Dan ada juga yang menyatakan dengan nada sinis bahwa film independen adalah film apapun yang memiliki tata cahaya yang buruk dan gambar yang tidak fokus. Batasan-batasan pragmatis ini mengingatkan saya akan pengalaman lucu teman saya di Malang beberapa waktu lalu, ketika ada peserta diskusi film yang mengatakan, “ Lho mas, saya kira film independen itu film-film seperti Independence Day, lho….” (Lalu saya terbayang bahwa Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30-S PKI adalah film independen… hi hi hi…)
Di tempat asalnya, sejarah mencatat nama-nama seperti Stanley Kubrick , John Cassavette , Stanley Kramer dan Sidney Lumet sebagai pionir independent filmmaking. Pada jaman mereka, film independen —atau film yang diproduksi diluar major studio— muncul sebagai film yang sangat kreatif, inovatif dan selalu memberikan sesuatu yang baru dan menyegarkan bagi penontonnya. Dana yang terbatas memberi tantangan para pembuatnya untuk mencari cara baru dalam bercerita, sehingga film-film tersebut muncul dengan unik, berbeda dari sebelumnya dan memberikan gaya berbahasa baru dalam kazanah perfilman di Amerika Serikat. Lalu kemudian muncul David Lynch, Francis Ford Coppola dan Martin Scorsesse di dekade selanjutnya. Kemudian muncul generasi Oliver Stone dan Spike Lee yang semakin menunjukkan perkembangan teknik pembuatan film. Generasi ini digantikan ketenaran The Coen Brothers (Joel dan Ethan Coen) serta Steven Soderbergh di akhir 80-an. Di era 90-an kemudian muncul Quentin Tarantino yang berhasil menyelamatkan nama Sundance Film Festival dengan filmnya berjudul Pulp Fiction.
Para pembuat film independen bermunculan di AS dengan latar belakang yang beragam. Mereka tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa film ataupun sutradara teater (seperti yang terjadi pada kondisi Hollywood klasik), tetapi menjadi sangat plural. Misalnya saja Tarantino yang berasal dari penjaga sebuah rental video. Kemunculan mereka ini tak bisa dipungkiri juga kemungkinan merupakan akibat dari maraknya industri film porno AS di akhir dekade 70-an. Dunia industri film porno AS menjadi ajang para filmmaker untuk mencari uang dan berlatih kemampuan kamera yang kemudian ditabung untuk dapat membuat feature film-nya sendiri .
Dari pembahasan singkat diatas, dapat tergambar bahwa termin berpikir ‘film independen’ memang tidak bisa lepas dari konteks Amerika Serikat, dan jelas tidak bermakna universal. Jadi, sangatlah tidak bijaksana bila kita mengambil definisi-definisi ala Amerika seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan berusaha mengaplikasikannya di Indonesia.
Walaupun film independen tidak dapat dipisahkan dengan konteks Amerika Serikat, apakah kita (Indonesia) tidak boleh menggunakan kata-kata yang sama untuk merepresentasikan definisi yang berbeda? Tetapi apakah menjadi tabu untuk menggunakan kata independen di Indonesia? Lalu bagaimana dengan film independen Indonesia?
Sangat tidak tepat bila kita menggunakan definisi ‘versi industri’ Hollywood terhadap keadaan di Indonesia, karena jika begitu, maka semua film Indonesia yang diproduksi sejak tahun 1926 sampai sekarang adalah film independen! Ingat, sebenarnya Indonesia tidak pernah punya industri perfilman yang mantap, yang kita miliki hanyalah beberapa buah ‘industri rumah tangga’. Maksudnya, seperti sebuah industri rumah tangga yang menghasilkan tempe: seseorang membeli kedele, kemudian dia yang memberi ragi, dia yang membuatnya jadi tempe, dia yang memotong-motong, dia juga yang menggoreng dan kemudian anaknya yang berjualan tempe goreng di pasar. Jelas situasi ini adalah situasi industri rumah tangga. Kita tidak pernah memiliki sistem produksi, distribusi dan eksibisi yang berjalinan satu sama lain. Kita tidak pernah memiliki regulasi yang jelas mengenai media film dan sensornya . Lalu apakah kemudian semua film Indonesia secara otomatis disebut sebagai film independen?
Secara etimologis, kata independen merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris ‘independent’ yang berakar dari kata ‘dependent’ dengan pemberian sufiks ‘in’ yang bersifat negasi. ’Independent’ diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘tidak bergantung’. Jadi kata ‘independent’ tidak pernah berdiri sendiri secara kontekstual tanpa ada kausal ‘from’ (Bhs. Ind: ‘dari’). Berarti, dalam konteks bahasa Inggris, kata ‘independent’ harus dapat dipertanyakan lebih lanjut dengan kata-kata ‘independent from what? ’
Peyorisme bahasa yang terjadi sebagai akibat serapan memungkinkan di Indonesia terjadi pemahaman yang berkembang dari sekedar ‘independen dari’ menjadi ‘independen untuk’ yang memiliki arti lebih dekat dengan kata ‘mandiri’ daripada kata-kata ‘tidak bergantung’.
Pemahaman akan ‘kemandirian’ inilah yang agaknya menjadi dasar berpikirnya banyak sutradara Indonesia sekarang ini untuk menyebut filmnya sebagai film independen. Umumnya, beberapa sutradara melihat independensi mereka sebagai sebuah sikap ‘siap berkarya’ tanpa tekanan dan tuntunan pihak manapun. Independen adalah ketika seseorang membuat film karena keinginan yang besar untuk membuat film, bukan karena ingin mendapatkan uang, prestasi ataupun popularitas. Keinginan untuk berkarya haruslah menjadi penyebab utama, bukan yang lainnya. Film independen muncul melalui suatu gagasan ideal dan diciptakan dengan kemandirian penggagasnya tanpa memperhitungkan unsur komersialisasi.
Pernyataan yang ‘mirip’ batasan diatas, mungkin memang terlalu dini untuk disimpulkan menjadi definisi. Tetapi hal tersebut yang mendasari semangat beberapa filmmaker Indonesia saat ini, dan mungkin akan banyak lagi kedepannya.
Perdebatan tentang definisi tidak akan pernah habis. Lagipula, untuk apa terus menggunakan pola pikir logika aristotelian yang mengharuskan terbentuknya definisi sementara kita tidak pernah menghasilkan karya apapun? Sudah saatnya kita berhenti menggunakan kata ‘apa’ dalam bertanya dan mulai menggunakan kata ‘bagaimana’ dan ‘kenapa’ untuk dapat menjawabnya. Positivistik bukanlah satu-satunya paradigma berpikir yang dapat kita gunakan. Sudah saatnya berhenti berdebat tentang definisi dan mulai melakukan sesuatu. Buatlah karya seperti yang anda inginkan, titik. Biarkan penonton yang menilainya. Karena mungkin, kita dapat mengerti apa itu independensi dalam karya sinema ketika kita melaluinya sendiri, seperti yang dikatakan Morpheus kepada Neo:
“There’s a difference between knowing the path… and walking the path…”
(The Wachowski Brothers, The Matrix, 1999)
‘Semangat berkarya’ merupakan kata kunci dalam sinema independen. Semangat inilah yang menjadi pembeda dengan bentuk sinema lainnya. Pembedaan bukan berkutat di masalah durasi, masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide, ataupun alur cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre. Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah yang kemudian memberikan arti berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat dirasakan oleh penontonnya.
Independensi adalah proses. Sinema independen tidak dapat dilihat dari seperti apa bentuk jadi suatu karya. Sinema independen tidak dapat dinilai dari hasil akhir suatu eksibisi karya sinema. Proses yang menjiwai lahirnya suatu karya, dari bagaimana ia muncul sebagai semangat sampai pelaksanaan idea-idea inilah yang membuat suatu karya menjadi independen.
Merujuk pada semangat berkarya sebagai sifat utama, sinema independen bergerak secara gerilya dalam prosesnya. Seno Gumira Ajidarma pernah melontarkan idenya (atau mungkin lebih terasa sebagai sebuah manifesto) tentang apa yang disebutnya sebagai Sinema Gerilya:
Sinema Gerilya jauh dari sikap kompromistis, mudah menyerah, dan uzurisme. Sinema Gerilya tidak mempertaruhkan dirinya diatas seluloid tok, ia juga menggebrak lewat tulisan di koran maupun majalah, omong besar maupun omong kecil, berbisik-bisik dari kuping ke kuping, dari sarasehan ke sarasehan, resmi maupun tidak resmi.
Satu-satunya pertaruhan sinema Indonesia adalah hati nuraninya sendiri. Sinema Gerilya bersifat bersifat militan, absolut, dan anti pelacuran intelektual maupun pelacuran ketrampilan. Namun Sinema Gerilya juga anti onani jiwa, anti eskapisme, anti egoisme, anti frustasiisme, dan anti mimpi tanpa berkarya.
(Seno Gumira Ajidarma)