Senin, April 06, 2009

Sabtu, Maret 28, 2009

APA ITU FILM INDEPENDEN?

APA ITU FILM INDEPENDEN?

Sebagian kecil dari film Indonesia (berdurasi panjang) yang muncul belakangan ini diklaim sebagai ‘film independen’. Sebut saja mulai dari Kuldesak , lalu kemudian Bintang Jatuh (Rudy Sudjarwo, 2000), Pachinko (Harry Suharyadi, 2000), Tragedy (Rudy Sudjarwo, 2001), Video Cinta (Agus Chosu, 2001), Jakarta Project (Indra Yudhistira, 2001), dan yang terakhir ini Beth (Aria Kusumadewa, 2001). Sebenarnya apa itu ‘film independen’? Sebuah pertanyaan besar yang menjadi polemik dalam hampir setiap tulisan maupun diskusi film yang muncul akhir-akhir ini. Hampir semua pengamat mempertanyakan definisi film independen yang dibuat oleh filmmaker dan terus berkutat di masalah definisi.

Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ –pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:

“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.”
(Goodell, 1998)
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’ untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat —khususnya Hollywood— mungkin definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan.. tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini tidak bijaksana.

Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang menyatakan bahwa:

“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.”
(Moran & Willis,….)
Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:

“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.”

Dalam konteks Amerika Utara, mereka menganggap bahwa pemerintah seringkali bertujuan untuk mengangkat ‘kultur bangsa’-nya ke dunia internasional, yang hanya sekedar kedok untuk memperlihatkan bahwa mereka telah menjalankan obligasi moral mereka dalam memperhatikan kesenian negerinya.

Yang paling menarik adalah hasil dari sebuah diskusi dalam kuliah Ray Carner , dimana didapatkan beberapa definisi pragmatis tentang film independen. Ada yang mengatakan bahwa film independen adalah film yang dibuat dengan dana terbatas, ada juga yang membatasinya sebagai film yang dibuat oleh sutradara muda yang belum terkenal. Dan ada juga yang menyatakan dengan nada sinis bahwa film independen adalah film apapun yang memiliki tata cahaya yang buruk dan gambar yang tidak fokus. Batasan-batasan pragmatis ini mengingatkan saya akan pengalaman lucu teman saya di Malang beberapa waktu lalu, ketika ada peserta diskusi film yang mengatakan, “ Lho mas, saya kira film independen itu film-film seperti Independence Day, lho….” (Lalu saya terbayang bahwa Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30-S PKI adalah film independen… hi hi hi…)

Di tempat asalnya, sejarah mencatat nama-nama seperti Stanley Kubrick , John Cassavette , Stanley Kramer dan Sidney Lumet sebagai pionir independent filmmaking. Pada jaman mereka, film independen —atau film yang diproduksi diluar major studio— muncul sebagai film yang sangat kreatif, inovatif dan selalu memberikan sesuatu yang baru dan menyegarkan bagi penontonnya. Dana yang terbatas memberi tantangan para pembuatnya untuk mencari cara baru dalam bercerita, sehingga film-film tersebut muncul dengan unik, berbeda dari sebelumnya dan memberikan gaya berbahasa baru dalam kazanah perfilman di Amerika Serikat. Lalu kemudian muncul David Lynch, Francis Ford Coppola dan Martin Scorsesse di dekade selanjutnya. Kemudian muncul generasi Oliver Stone dan Spike Lee yang semakin menunjukkan perkembangan teknik pembuatan film. Generasi ini digantikan ketenaran The Coen Brothers (Joel dan Ethan Coen) serta Steven Soderbergh di akhir 80-an. Di era 90-an kemudian muncul Quentin Tarantino yang berhasil menyelamatkan nama Sundance Film Festival dengan filmnya berjudul Pulp Fiction.

Para pembuat film independen bermunculan di AS dengan latar belakang yang beragam. Mereka tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa film ataupun sutradara teater (seperti yang terjadi pada kondisi Hollywood klasik), tetapi menjadi sangat plural. Misalnya saja Tarantino yang berasal dari penjaga sebuah rental video. Kemunculan mereka ini tak bisa dipungkiri juga kemungkinan merupakan akibat dari maraknya industri film porno AS di akhir dekade 70-an. Dunia industri film porno AS menjadi ajang para filmmaker untuk mencari uang dan berlatih kemampuan kamera yang kemudian ditabung untuk dapat membuat feature film-nya sendiri .

Dari pembahasan singkat diatas, dapat tergambar bahwa termin berpikir ‘film independen’ memang tidak bisa lepas dari konteks Amerika Serikat, dan jelas tidak bermakna universal. Jadi, sangatlah tidak bijaksana bila kita mengambil definisi-definisi ala Amerika seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan berusaha mengaplikasikannya di Indonesia.

Walaupun film independen tidak dapat dipisahkan dengan konteks Amerika Serikat, apakah kita (Indonesia) tidak boleh menggunakan kata-kata yang sama untuk merepresentasikan definisi yang berbeda? Tetapi apakah menjadi tabu untuk menggunakan kata independen di Indonesia? Lalu bagaimana dengan film independen Indonesia?

Sangat tidak tepat bila kita menggunakan definisi ‘versi industri’ Hollywood terhadap keadaan di Indonesia, karena jika begitu, maka semua film Indonesia yang diproduksi sejak tahun 1926 sampai sekarang adalah film independen! Ingat, sebenarnya Indonesia tidak pernah punya industri perfilman yang mantap, yang kita miliki hanyalah beberapa buah ‘industri rumah tangga’. Maksudnya, seperti sebuah industri rumah tangga yang menghasilkan tempe: seseorang membeli kedele, kemudian dia yang memberi ragi, dia yang membuatnya jadi tempe, dia yang memotong-motong, dia juga yang menggoreng dan kemudian anaknya yang berjualan tempe goreng di pasar. Jelas situasi ini adalah situasi industri rumah tangga. Kita tidak pernah memiliki sistem produksi, distribusi dan eksibisi yang berjalinan satu sama lain. Kita tidak pernah memiliki regulasi yang jelas mengenai media film dan sensornya . Lalu apakah kemudian semua film Indonesia secara otomatis disebut sebagai film independen?

Secara etimologis, kata independen merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris ‘independent’ yang berakar dari kata ‘dependent’ dengan pemberian sufiks ‘in’ yang bersifat negasi. ’Independent’ diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘tidak bergantung’. Jadi kata ‘independent’ tidak pernah berdiri sendiri secara kontekstual tanpa ada kausal ‘from’ (Bhs. Ind: ‘dari’). Berarti, dalam konteks bahasa Inggris, kata ‘independent’ harus dapat dipertanyakan lebih lanjut dengan kata-kata ‘independent from what? ’

Peyorisme bahasa yang terjadi sebagai akibat serapan memungkinkan di Indonesia terjadi pemahaman yang berkembang dari sekedar ‘independen dari’ menjadi ‘independen untuk’ yang memiliki arti lebih dekat dengan kata ‘mandiri’ daripada kata-kata ‘tidak bergantung’.

Pemahaman akan ‘kemandirian’ inilah yang agaknya menjadi dasar berpikirnya banyak sutradara Indonesia sekarang ini untuk menyebut filmnya sebagai film independen. Umumnya, beberapa sutradara melihat independensi mereka sebagai sebuah sikap ‘siap berkarya’ tanpa tekanan dan tuntunan pihak manapun. Independen adalah ketika seseorang membuat film karena keinginan yang besar untuk membuat film, bukan karena ingin mendapatkan uang, prestasi ataupun popularitas. Keinginan untuk berkarya haruslah menjadi penyebab utama, bukan yang lainnya. Film independen muncul melalui suatu gagasan ideal dan diciptakan dengan kemandirian penggagasnya tanpa memperhitungkan unsur komersialisasi.

Pernyataan yang ‘mirip’ batasan diatas, mungkin memang terlalu dini untuk disimpulkan menjadi definisi. Tetapi hal tersebut yang mendasari semangat beberapa filmmaker Indonesia saat ini, dan mungkin akan banyak lagi kedepannya.

Perdebatan tentang definisi tidak akan pernah habis. Lagipula, untuk apa terus menggunakan pola pikir logika aristotelian yang mengharuskan terbentuknya definisi sementara kita tidak pernah menghasilkan karya apapun? Sudah saatnya kita berhenti menggunakan kata ‘apa’ dalam bertanya dan mulai menggunakan kata ‘bagaimana’ dan ‘kenapa’ untuk dapat menjawabnya. Positivistik bukanlah satu-satunya paradigma berpikir yang dapat kita gunakan. Sudah saatnya berhenti berdebat tentang definisi dan mulai melakukan sesuatu. Buatlah karya seperti yang anda inginkan, titik. Biarkan penonton yang menilainya. Karena mungkin, kita dapat mengerti apa itu independensi dalam karya sinema ketika kita melaluinya sendiri, seperti yang dikatakan Morpheus kepada Neo:

“There’s a difference between knowing the path… and walking the path…”
(The Wachowski Brothers, The Matrix, 1999)
‘Semangat berkarya’ merupakan kata kunci dalam sinema independen. Semangat inilah yang menjadi pembeda dengan bentuk sinema lainnya. Pembedaan bukan berkutat di masalah durasi, masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide, ataupun alur cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre. Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah yang kemudian memberikan arti berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat dirasakan oleh penontonnya.

Independensi adalah proses. Sinema independen tidak dapat dilihat dari seperti apa bentuk jadi suatu karya. Sinema independen tidak dapat dinilai dari hasil akhir suatu eksibisi karya sinema. Proses yang menjiwai lahirnya suatu karya, dari bagaimana ia muncul sebagai semangat sampai pelaksanaan idea-idea inilah yang membuat suatu karya menjadi independen.

Merujuk pada semangat berkarya sebagai sifat utama, sinema independen bergerak secara gerilya dalam prosesnya. Seno Gumira Ajidarma pernah melontarkan idenya (atau mungkin lebih terasa sebagai sebuah manifesto) tentang apa yang disebutnya sebagai Sinema Gerilya:

Sinema Gerilya jauh dari sikap kompromistis, mudah menyerah, dan uzurisme. Sinema Gerilya tidak mempertaruhkan dirinya diatas seluloid tok, ia juga menggebrak lewat tulisan di koran maupun majalah, omong besar maupun omong kecil, berbisik-bisik dari kuping ke kuping, dari sarasehan ke sarasehan, resmi maupun tidak resmi.
Satu-satunya pertaruhan sinema Indonesia adalah hati nuraninya sendiri. Sinema Gerilya bersifat bersifat militan, absolut, dan anti pelacuran intelektual maupun pelacuran ketrampilan. Namun Sinema Gerilya juga anti onani jiwa, anti eskapisme, anti egoisme, anti frustasiisme, dan anti mimpi tanpa berkarya.
(Seno Gumira Ajidarma)

KEADAAN PERFILMAN INDONESIA SAAT INI

Kegairahan baru memang tampak muncul dalam “dunia perfilman” kita dalam tiga tahun terakhir ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dimulai oleh Kuldesak pada tahun 1999 untuk karya film-nya, lalu Festival Fim-Video Independen Indonesia 1999 dan Jiffest 1999 untuk ajang apresiasinya, dan berikutnya berderet sekian film baru dan sekian ajang apresiasi yang bermunculan di pulau Jawa, dan beberapa di pulau besar lainnya.

Hampir 200 judul film pendek muncul dalam berbagai format di tahun-tahun ini. Dengan gaya berbicara yang sangat plural, mereka berusaha menyuguhkan idea-idea baru yang seakan telah lama berkecamuk di kepala mereka masing-masing. Tidak sedikit dari film-film pendek ini yang dapat perhatian internasional seperti film-film karya Nanang Istiabudi, Asep Kusdinar, Lono Abdul Hamid, Hanny R. Syahputra, Eric Gunawan, serta yang terbaru Hanung Bramantyo.

Jumlah produksi film cerita panjang pun meningkat, meskipun tidak dapat dikatakan signifikan. Usaha untuk membawanya ke dunia internasional pun terasa juga bermain gerilya. Bahkan dua film dari Aria Kusuma Dewa sempat diundang untuk dipresentasikan di Rotterdam pada pertengahan tahun ini. Di genre dokumenter, filmnya Aryo Danusiri dalam satu tahun ini bergiliran terus dari satu festival ke festival lainnya di Belanda, Inggris, Australia dan Taiwan.

Ya, dunia sinema Indonesia sedang bergairah. Dan bukan hanya dari karyanya saja, tetapi juga dalam berbagai aspek lain dalam dunia perfilman. Sebut saja festival film yang makin banyak tumbuh dimana-mana, juga majalah-majalah tentang sinema –baik bersifat industri maupun gerilya- yang mulai banyak muncul di banyak tempat

Akan tetapi, seluruh perkembangan gairah diatas belumlah dapat tersampaikan ke masyarakat Indonesia sendiri secara luas. Padahal, sebagai sebuah wacana alternatif, wacana sinema independen seharusnya berperang melawan singularitas bahasa media/sinema yang saat ini berlangsung di Indonesia. Bayangkan ketika pluralisme berbahasa dalam media audio-visual di Indonesia dapat tercapai, betapa berwarna-warninya dunia sinema kita, baik elektronik maupun seluloid.

SEKILAS TENTANG FILM PENDEK

Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang.

Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen.

Sejalan dengan analogi tersebut, keadaan film pendek di Indonesia sekarang mirip dengan keadaan yang dialami cerpen puluhan tahun yang lalu, ketika nilai estetik sebuah novel selalu dianggap lebih tinggi dari sebuah cerpen. Akan tetapi, keadaan tersebut terselamatkan oleh maraknya media massa cetak seperti koran dan majalah yang kemudian menjadi media distribusi utama cerpen kepada pembacanya. Dalam kurun waktu yang singkat, cerpen berhasil membentuk pasarnya sendiri, membentuk definisinya sendiri, dan tentu saja mengangkat martabatnya sejajar dengan bentuk sastra tulis lainnya.

Akan tetapi, keadaan tersebut tidak berlaku sama bagi film pendek dalam dunia film Indonesia. Sebagai sebuah media ekspresi, film pendek selalu termarjinalisasi –dari sudut pandang pemirsa- karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra.

Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit (Derek Hill dalam Gotot Prakosa, 1997) . Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.

Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampirsetiap sudut kota di Eropa.

Di Indonesia, dimana film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal –sekali lagi, dari sudut pandang pemirsa- film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan Dana.

Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian .

Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kali-nya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film.
Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja.

Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.

Pengertian Media Komunikasi dan Audio-Visual

Tahun 1970 ditemukan teknologi CCD (Charged Caupled Device) menggantikan tabung citra vidicon. Tidak ada yang meramalkan bahwa di kemudian hari temuan Boyle dan Smith tersebut akan menjadi tonggak yang mempercepat perkembangan teknologi penangkap gambar diam maupun gambar gerak. Kamera foto dan kamera video berkembang sangat pesat berkat penemuan tersebut. Akhirnya hanya tinggal teknik lensa saja yang hampir tidak berubah. Media penyimpan mengalami perkembangan dan melahirkan banyak varian, di antaranya dalam bentuk pita (cassete), cakram (disk), dan memori chip. Dengan demikian sinematografi tidak lagi identik dengan media penyimpan fim/selluloid. Masyarakat mulai risih menyebut gambar hasil tangkapan dengan teknik sinematografi sebagai film karena media penyimpannya memang bukan lagi film. Lalu, apa
nama pengganti yang sesuai? Muncullah istilah media Audio Visual. CCD yang jauh lebih murah dibanding tabung citra vidicon juga menyebabkan harga kamera menjadi murah, dengan demikian penyebarannya menjadi lebih pesat. Memasyarakatnya kamera video menyebabkan semakin banyaknya objek yang bias dikemas menjadi tayangan video. Dulu hanya film dalam arti film cerita saja yang merupakan karya sinematografi, sekarang berbagai dokumentasi dapat dikemas menjadi tayangan video, dan semua itu memerlukan teknik sinematografi. Fenomena ini mengokohkan penggunaan istilah media audio-visual untuk karya-karya sinematografi.

Pengertian Media Komunikasi dan Audio-Visual
Media berarti wadah atau sarana. Dalam bidang komunikasi, istilah media yang sering kita sebut sebenarnya adalah penyebutan singkat dari media komunikasi. Media komunikasi sangat berperan dalam mempengaruhi perubahan masyarakat. Televisi dan radio adalah contoh media yang paling sukses menjadi pendorong perubahan. Audio-visual juga dapat menjadi media komunikasi. Penyebutan audio-visual sebenarnya mengacu pada indra yang menjadi sasaran dari media tersebut. Media audiovisual mengandalkan pendengaran dan penglihatan dari khalayak sasaran (penonton). Produk audio-visual dapat menjadi media dokumentasi dan dapat juga menjadi media komunikasi. Sebagai media dokumentasi tujuan yang lebih utama adalah mendapatkan fakta dari suatu peristiwa. Sedangkan sebagai media komunikasi, sebuah produk audio-visual melibatkan lebih banyak elemen media dan lebih membutuhkan perencanaan agar dapat mengkomunikasikan sesuatu. Film cerita, iklan, media pembelajaran adalah contoh media audio-visual yang lebih menonjolkan fungsi komunikasi. Media dokumentasi sering menjadi salah satu elemen dari media komunikasi. Karena melibatkan banyak elemen media, maka produk audio-visual yang diperuntukkan sebagai media komunikasi kini sering disebut sebagai multimedia.











Pada masyarakat yang masih terbelakang (belum berbudaya baca-tulis) elemenelemen multimedia tidak seluruhnya secara optimal menunjang komunikasi. Masyarakat terbelakang hanya mengenal gambar dan suara. Pada masyarakat modern seluruh elemen multimedia menjadi sangat vital dalam membangun kesatuan dan memperkaya informasi. Suara, teks, gambar statis, animasi dan video harus diperhitungkan sedemikian rupa penampilannya, sehingga dapat menyajikan informasi yang sesuai dengan ciri khas masyarakat modern yakni efektif dan efisien. Untuk kepentingan efektifitas dan efisiensi inilah kemudian muncul istilah multimedia yang bersifat infotainment (informatif sekaligus menghibur) dan multilayer (beberapa lapis tampil pada saat yang sama). Saat menyaksikan tayangan TV masyarakat telah terbiasa melihat sinetron sambil mencermati tambahan berita dalam bentuk teks yang bergerak di bagian bawah layar TV, dan sesekali melirik logo perusahaan TV di pojok atas.